"Memahami Tumbuhnya Politik Lokal Baru Dalam Kerangka Desentralisasi Di Indonesia"

Kebebasan Mengkritik



Abstrak

Makalah ini membahas peta politik lokal baru dalam lahan basah otonami daerah di Indonesia, berikut perspektif aliran yang kemudian muncul mewarnai pemain Negara, pasar dan rakyat yang menandai reformasi perubahan peta politik nasional dari hegemoni otoriter Orde Baru yang sentralistik kearah transisi Demokrasi, Dekonsentrasi kekuasaan.


Kata Kunci : Demokrasi, Dekonsentrasi, Desentralisasi, Negara, Pasar, Rakyat

Pendahuluan
Transisi demokrasi kontemporer, yang terkenal dijelaskan oleh Samuel Huntington sebagai ‘gelombang demokrasi ketiga’ (Huntington 1991). Sejumlah kalkulasi menunjukkan bahwa 69% Negara-negara di dunia memiliki rezim otoriter pada tahun 1975, dan hanya 24% bisa digolongkan sebagai demokrasi liberal. Pada tahun 1995 proporsi ini menjadi 26% dan kemudian 48%. Proporsi Negara yang digolongkan demokrasi liberal telah mencapai dua kali lipat dalam 20 tahun ( Potter 1007). Pada tahun 1980-an dan tahun 1990-an sekitar 81 negara mengambil langkah signifikan menuju demokrasi (UNDP 2002:1).
Identitas lokal dan identitas politik dikonstruksikan secara simultan dalam konteks transformasi global (Appadurai 1996). Transformasi ini juga direfleksikan kedalam teori dan praktek pembangunan (Developmentalismn), yang kian kembali pada lokal sebagai tempat pembangunan utama dalam konteks globalisasi. Otoritas politik menjadi tersebar diantara pemain Negara, pasar, dan masyarakatsipil di skala lokal, nasional, regional dan global (Jessop 2002).
Institusi global seperti IMF (International Monetary Fund), WTO (World Trade Organizaton), PBB (United Nations), World Bank dan Bank Pembangunan Regional luar biasa berkuasa terhadap lembaga dan rakyat di Negara miskin dan di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, mereka melakukan instrument ekonomi, hokum dan pendekatan teknokratis dan apolitis yang berakar dalam lembaga global yang paling berkuasa yakni pasar (Mc Neill dan Boas 2003).
Dilain pihak, tingkat politik dihubungkan melalui reformasi kelembagaan ke arah Desentralisasi, demokrasi lokal dan tata pemerintahan yang baik, wacana pembangunan dalam partisipasi lokal dan civil society, mobilisasi politik disekitar isu lokal, nasional dan global. Kepentingan tersebut tampak dalam kepentingan yang diperbaharui diantara pemerintah nasional dan lembaga pembangunan Internasional dalam desentralisasi administrasi, pemindahan tanggungjawab secara sengaja dari institusi Negara sentral ke institusi Negara lokal (Dekonsentrasi), dan ke pemain non Negara (Privatisasi).
Proses Desentralisasi di Indonesia belum lama ini dipersamakan dengan proses demokratisasi dan tumbuhnya Civil Soceity (Syaikhu Usman 2002). Melemahnya Negara pusat tidak secara otomatis menghasilkan demokrasi berlebih pada tingkat lokal, justru sebaliknya bahwa desentralisasi dalam kondisi tertentu bisa disertai oleh pemerintahan otoriter.
UU No. 32 Th 2004 dalam prakteknya meletakkan otonomi pada tingkat Kabupaten dan Kotamadya, kekuasaan Provinsi dicerabut maka proses fragmentasi politik dibangkitkan. Desentralisasi adalah strategi pecah belah dan dikuasai (divide-and-rule) yang dilakukan pemerintah pusat, mengarahkan fragmentasi adminstrasif sembari mempertahankan kontrol fiskal tetap ditangan pusat.
Proses politik lokal tetap memainkan peranan mendasar dalam mempengaruhi legitimasi kekuasaan Negara secara keseluruhan, membentengi rejim oposisi, mementukan distribusi political rewards dalam nation-state, mengimplementasikan kebijakan publik, mengungkap konsekwensi dari kebijakan nasional dan sebagai arena actor pembuat kebijakan di tingkatan grass roots, stabilitas rejim nasional sering tergantung pada politik lokal dan pejabat-pejabatnya.
Skema Ideologi Negara, Pasar, Rakyat
Tumbuhnya politik lokal dapat dimaknai dari pedoman kritis bagai analisis politik lokal. Dikalangan ilmuwan sosial dan politik setidaknya ada empat perspektif yang mampu membedah peta polittik lokal baru.
Pertama, Perspektif kanan baru. Kelompok kanan baru (New Right) memiliki sikap anti kolektivisme, anti buruh dan anti spirit kesejahteraan. Kelompok kanan baru merupakan gerakan pendorong liberalisasi dibidang ekonomi dan politik yang mempunyai alasan kuat untuk menolak berdirinya serikat buruh. Mereka memandang serikat buruh sebagai bagian dari koalisi politik yang mendorong ekspansi sector public yang berlebihan dan menyebabkan ketidakseimbangan ekonomi makro. Mereka juga mendasarkan asumsi bahwa pasar (liberalisasi ekonomi) merupakan kekuatan pembawa kemakmuran lewat fungsinya sebagai alokator sumber daya alam dan sumebr daya manusia yang paling efisien dan distributor yang paling adil. Dengan melihat ketidakefisien Negara sebagaimana yang mereka harapkan, akhirnya mereka mengontrol Negara, dan mereka saat ini masih membutuhkan Negara sebagai benteng terakhir yang mampu melindungi mereka oleh kekuatan militernya. Menurut anggapan kelompok ini, otonomi bukan untuk menfasilitasi demokrasi ketingkatan lokal, pendidikan politik, tanggung jawab politik serta efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan, melainkan untuk memperbesar ruang dan memperluas jangkauan ekspansi pasar. Relevansi politik hanya menjadi alat untuk berlakunya rejim Neoliberalisme.
Kedua, Perseptif Pluralis. Argumen dasar kelompok ini adalah kemajemukan yang merupakan nilai normative dalam politik dan menjadi dasar pengakuan eksistensi politik lokal dan pemerintahan lokal adalah manifestasi konkrit dari nilai normative kemajemukan masyarakatnya. Bagi kaum pluralis, kebebebasan politik lebih ditekankan ( JS Mill 1861) yang meyakini bahwa pemerintahan lokal melindungi hak-hak warganegara dan meningkatkan perlindungan dari represi kekuasaan. Idenya tentang kebebasan sebagai sebuah ketiadaan pengekangan harga diri diperluas ke komunitas-komunitas lokal. Seorang pluralis yakin bahwa pada perkembangan desentralisasi, pemerintah lokal membantu mencegah depotisme (kelaliman). Bagi kaum pluralis esensi kebebasan terletak pada pembagian kekuasaan. Kelompok ini memandang Negara sebagai entitas terpatah-patah, fragmented atau disintegrated, bukan kesatuan yang koheren.
Ketiga, Perspektif Marxis. Berbeda dengan kelompok pluralis, marxis menganggap Negara dilihat dari satu kesatuan yang utuh yang berfungsi sebagai benteng terakhir bagi pasar (rejim neoliberal) dengan menindas kepentingan kaum buruh. Hal ini sejalan dengan pandangan mereka tentang analisis kelas dan mereka meyakini bahwa kekuasaan memusat pada kelas yang berkuasa serta kepemilikan alat produksi (kapitalis). KarlMarx dalam ‘Manisfesto Komunis’ menggambarkan bahwa eksekutif dari Negara-negara modern adalah suatu komite untuk mengatur masalah umum dari kaum borjuis secara keseluruhan. Pemerintahan pusat dinilai lebih penting dalam mengubah Negara kapitalis disbanding pemerintah lokal yang ditempatkan sebagai factor sekunder. Negara lokal yang ditempatkan sebagai factor sekunder. Negara lokal dan desentralisasi dinilai hanya sebatas perluasan Negara nasional dan paham internasionale mereka.
Keempat, Perspektif kulturalis, ukuran tertinggi pengeolaan kekuasaan yang dipakai oleh kalangan kulturalist adalah adanya perlakuan yang unik bagi tiap masyarakat dan lokalitas yang hanya mungkin dicapai jika ada penerimaan dan perlindungan atas politik lokal. Kekuasaan bersifat tersebar dan menolak penyeragaman dan sentralisasi. Karena itu penyebaran kekuasaan yang dicerminkan oleh adanya otoritas politik lokal merupakan satu-satunya kemungkinan prinsip pengelolaan kekuasaan karena n realisasi identitas diri, dan kemungkinan optimalisasi kontrol dan pemanfaatan oleh masyarakat atas kekayaan dan sumber-sumber sosial, ekonomi dan cultural.
Kesimpulan
Sejumlah pemikiran dan keempat persfektif ini mengisi dinamika arus Negara, pasar dan rakyat dalam tumbuhnya politik lokal baru. Banyak muncul organisasi masa baru, partai politik baru, kekuatan investor asing menembus Negara- bangsa. Gejolak dari praktek desentralisasi dan politik oleh beberapa kelompok dan kepentingan juga didasari keempat persfektif ini setidaknya. Dari pertentangan-pertentanfgan keempat persfektif itu juga bisa digambarkan adanya pola-pola patrimonial ditingkat daerah. Di sisi lain banyak yang berharap bahwa desentralisasi akan menghasilkan demokrasi subtansial, tata pemerintahan yang bersih (Good Governance), administrative yang memiliki akuntabilitas serta transparasi anggaran kebujakan publik dan menguatnya civil society di daerah. Disisi lain kita banyak menyaksikan desentralisasi korupsi, kolusi, dan kekerasan politik serta berlakunya rezim pasar di daerah.

www.intancell.co.cc

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More